Jumat, 20 November 2009

Pembangunan Nasional Berparadigma Hukum

1. Wawasan atau Paradigma Hukum:

Dalam Negara Hukum segala sesuatu dalam dinamika kehidupan kenegaraan haruslah didasarkan atas hukum sebagai pegangan tertinggi. Ketika UUD 1945 disusun, wawasan Negara Hukum (Rechtsstaat) mewarnai corak pemikiran kenegaraan yang diadopsikan ke dalam rumusan UUD 1945. Harus diakui bahwa cita-cita ideal Negara Hukum itu tidak mudah diterapkan. Di masa pemerintahan Presiden Soekarno sejak tahun 1945 sampai tahun 1967, yang dianggap panglima yang sesungguhnya dalam penyelenggaraan negara Republik Indonesia adalah politik, bukan hukum. Dari sinilah dikenal adanya istilah politik sebagai panglima. Sebaliknya, di masa pemerintahan Presiden Soeharto sejak tahun 1967 sampai tahun 1998, yang dianggap sebagai panglima adalah ekonomi. Semua keputusan seakan diabdikan untuk kepentingan pembangunan ekonomi, khususnya kepentingan untuk membangun pertumbuhan ekonomi nasional. Karena itu, ketika kita memasuki era reformasi terbukalah peluang bagi bangsa kita untuk mengubah paradigma pembangunan nasional dan wawasan penyelenggaraan negara dari berparadigma politik dan ekonomi pada masa sebelumnya menjadi berparadigma hukum. Dalam rangka reformasi ke arah perwujudan cita-cita negara yang berparadigma atau berwawasan hukum itu, hukum dan sistem hukum itu sendiri juga perlu direformasi terlebih dulu. Sebagaimana menjadi jargon dalam gerakan reformasi pada tahun 1998 itu, ialah perlunya dilakukan tindakan reformasi yang simultan, yaitu reformasi politik, reformasi ekonomi, dan reformasi hukum. Bahkan, dalam kenyataannya, reformasi hukum itulah yang bersifat instrumental dalam rangka perwujudan gagasan reformasi politik dan ekonomi secara sekaligus. Artinya, langkah-langkah dan upaya-upaya reformasi yang dilakukan di bidang politik dan ekonomi itu pada pokoknya diwujudkan dalam bentuk-bentuk norma aturan hukum yang baru, sehingga gagasan perbaikan yang dicita-citakan dituangkan secara resmi dalam bentuk hukum yang dapat dijadikan pegangan normative di masa depan.


2. Desain Makro Kebijakan Hukum:

Dalam rangka pembangunan nasional yang berparadigma atau berwawasan Hukum dan Negara Hukum, perlu disusun suatu desain makro yang tidak hanya menjadikan hukum sebagai satu bidang pembangunan saja ataupun apalagi hanya satu sector dalam kerangka pembangunan nasional yang menyeluruh. Kepala Negara Republik Indonesia secara simbolik adalah Undang-Undang Dasar yang sekaligus berfungsi menjadi semacam ‘kitab suci’ dari ‘syar’at bernegara’ (civil religion) bagi segenap warga negara. Semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Bahkan semua manusia dijamin kemerdekaannya memiliki dan menggunakan hak-hak asasinya masing-masing. Semua perbuatan atau kegiatan warga negara yang berkenaan dengan negara dan masalah-masalah kenegaraan harus dilakukan atas dasar peraturan perundang-undangan yang pada pokoknya ditujukan untuk mencapai dan mewujudkan tujuan bernegara. Tidak ada institusi apapun yang memiliki kekuasaan apapun dalam negara Indonesia yang tidak terbatas dan dibatasi. Tidak ada dan tidak boleh ada peraturan perundang-undangan apapun yang ditetapkan secara sewenang-wenang tanpa prosedur demokrasi, tanpa pembatasan dan pengawasan, termasuk keterbukaannya untuk dikontrol secara demokratis oleh masyarakat luas. Dalam negara hukum Indonesia, sistem peradilan bekerja secara independent dan tidak memihak, dan bagi setiap warga negara yang dirugikan oleh keputusan pejabat administrasi negara terbuka peluang yang adil untuk menuntut keadilan melalui peradilan tata usaha negara yang juga independent dan tidak memihak, kecuali kepada kebenaran dan keadilan itu sendiri.


3. Wawasan Kepemimpinan Hukum:

Dari norma-norma tersebut di atas, yang pertama-tama penting disadari adalah bahwa dalam negara hukum Republik Indonesia, yang sesungguhnya menjadi pemimpin tertinggi adalah konstitusi, yaitu UUD, sesuai prinsip ‘the rule of law, and not of man’. Kedua, konstitusi dan norma-norma hukum yang berada di bawahnya terjalin sebagai satu kesatuan sistem syari’at kenegaraan bagi setiap warga negara, yang menjadikan setiap warga negara bersamaan kedudukannya, hak dan kewajibannya di hadapan hukum dan ‘pemerintahan’. Ketiga, semua tindakan dan kebijakan pemerintahan, termasuk kebijakan pembangunan nasional haruslah didasarkan atas aturan hukum yang telah ditetapkan lebih dulu sesuai dengan asas legalitas. Hal ini tidak perlu menyebabkan proses pemerintahan mengabaikan pentingnya ‘mission driven’, karena pada hakikatnya hukum itu sendiri justru dimaksudkan untuk berfungsi instrumental terhadap upaya perwujudan missi yang diemban itu.


4. Pembangunan Sistem Hukum:

Dengan paradigma yang demikian itu, pembangunan nasional Indonesia dalam arti pembangunan hukum nasional mencakup komponen pembangunan ‘structural-institutional’, komponen pembangunan ‘cultural-behavioral’, dan pembangunan hukum instrumental yang menyangkut materi hukum nasional. Ketiga komponen pembangunan hukum tersebut berlaku, baik dalam kerangka fungsi-fungsi legislasi, administrasi, maupun fungsi judicial. Dalam ketiga fungsi itu, masing-masing terkait adanya institusi-institusi hukum, adanya unsur subjek hukum pendukungnya, dan instumen normative yang mengaturnya. Dalam arti yang lebih sempit, instrument peraturan perundang-undangan itu sendiri terkait pula dengan kegiatan pembuatannya (law making), kegiatan pemasyarakatannya (law promulgation and law socialisation), dan kegiatan penegakannya (law enforcement) yang di dalamnya juga terkait dengan elemen institusionalnya, elemen manusianya, dan elemen-elemen proseduralnya.

Untuk menunjang keseluruhan fungsi dan aktifitas terkait dengan hukum itu diperlukan (a) makro desain kebijakan pembangunan hukum nasional yang menyeluruh, dan
(b) pusat administrasi informasi hukum yang terpadu yang mencakup informasi berkenaan dengan peraturan (regelen), penetapan administrasi negara (beschikkingen), dan putusan-putusan peradilan (vonis), serta putusan-putusan penyelesaian sengketa lain, seperti arbitrase dan ‘despute desolution’ lainnya. Sistem informasi terpadu tersebut diharapkan dapat pula mencakup kebutuhan baik untuk tingkat pusat maupun sampai ke tingkat daerah dan bahkan tingkat desa di seluruh Indonesia. Pemahaman kita tentang sistem hukum nasional juga perlu diperluas sehingga mencakup pengertian yang lebih menyeluruh. Sistem hukum dapat dikaitkan dengan pengertian atau dilihat dari cabang kekuasaan, dan dapat pula dari proses kegiatannya.

Dari segi cabang kekuasaannya, sistem hukum itu mencakup:
a. Kekuasaan legislative (legislative power), yaitu cabang kekuasaan yang menentukan arah kebijakan pemerintahan dan menetapkan peraturan perundang-undangan pada tingkatan tertentu, yaitu biasanya dalam bentuk Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang.
b. Kekuasaan eksekutif (executive branch), yaitu cabang kekuasaan yang menjalankan fungsi pemerintahan dan melaksanakan arahan-arahan yang ditentukan oleh atau berdasarkan UUD dan UU;
c. Kekuasaan judikatif atau judicial (judiciary)., yaitu cabang kekuasaan yang menguji materi peraturan dan menilai pelaksanaan undang-undang serta mengadili perkara-perkara pelanggaran hukum pada umumnya.

Dari segi lain (proses kegiatannya), sistem hukum nasional itu juga meliputi fungsi-fungsi atau kegiatan-kegiatan:

a. Pembuatan hukum (law making), yaitu menyangkut kegiatan-kegiatan penelitian, perencanaan, pengkajian, perancangan, pembahasan dan pengesahan rancangan peraturan menjadi peraturan resmi.
b. Pengadministrasian hukum (the administration of law), yaitu menyangkut kegiatan pengadministrasian dalam arti sempit berupa penomeran, penerbitan, pengumuman, dan pendokumentasian ataupun dalam arti luas mencakup pelaksanaan atau penerapan hukum dalam praktek penyelenggaraan negara. Dalam pengertiannya yang sempit, misalnya, dapat dipertanyakan sejauhmana produk-produk peraturan perundang-undangan, keputusan-keputusan pejabat administrasi negara, dan vonis-vonis hakim mulai dari tingkat pusat sampai ke daerah-daerah di seluruh Indonesia telah terdokumentasikan dengan baik, tentu masih menjadi tanya tanya besar.
c. Pemasyarakatan hukum (the socialization and promulgation of law), yaitu menyangkut kegiatan penyebarluasan dan pemasyarakatan infomasi peraturan perundang-undangan. Meskipun dalam ilmu hukum dikenal adanya teori fiktie yang menentukan bahwa pada saat suatu peraturan diundangkan maka pada waktu yang bersamaan semua orang sudah dianggap tahu hukum. Padahal dalam kenyataannya, apalagi di lingkungan negara sebesar dan seberagam dengan tingkat perkembangan yang tidak merata seperti Indonesia, teori fiktie itu hanyalah teori hayalan. Untuk mengatasi kelemahannya itulah diperlukan langkah-langkah bersengaja untuk memasyarakatkan segala peraturan perundang-undangan dengan sungguh-sungguh.
d. Penegakan hukum (the enforcement of law), yaitu menyangkut kegiatan pengawasan terhadap penyimpangan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, penghakiman, dan pemidanaan atau penetapan vonis oleh hakim, serta kegiatan eksekusi putusan, dan kegiatan pemasyarakatan kembali (resosialisasi). Keempat kegiatan itu ada di tingkat pusat dan ada pula di daerah. Bahkan, dalam rangka pembudayaan hukum dan tradisi taat hukum, keseluruhan kegiatan itu juga harus dilihat dalam konteks kehidupan di lapisan pedesaan atau masyarakat desa yang berdasarkan konsepsi UU No. 22/1999 disebut sebagai ‘self governing communities’. Dengan demikian, semua kegiatan tersebut di atas dapat dilihat, baik pada tingkat pusat, daerah-daerah provinsi dan kabupaten/kota, serta tingkat desa.

Dalam ketiga cabang kekuasaan dan tiga jenis kegiatan hukum tersebut serta di tiap tingkatan pusat, daerah dan desa tersebut di atas, terkait adanya tiga elemen sistem hukum sekaligus, yaitu:

a. Institusi hukum;
b. Tradisi dan Kultur Hukum;
c. Perangkat Instrumental Materi Normatifnya berupa peraturan tertulis ataupun peraturan tidak tertulis.


5. Tiga Jenis Putusan Hukum

Dari apa yang diuraikan di atas, dapat diketahui bahwa apa yang kita kenal dengan istilah hukum dan sistem hukum itu sendiri sebenarnya sangatlah luas cakupan pengertiannya. Jika hukum dimengerti hanya sebagai perangkat peraturan yang bersifat tertulis, maka pengertian demikian jelaslah merupakan pengertian yang paling sempit dari kata hukum itu. Dalam arti yang tidak terlalu luas, tetapi dalam bentuknya yang paling nyata apa yang kita kenal dengan sebutan hukum itu sebenarnya menyangkut tiga jenis putusan hukum, yaitu:

a. Bentuk peraturan yang berisi materi aturan sebagai hasil kegiatan pengaturan terhadap kepentingan umum (regels). Biasanya bentuk seperti inilah yang tepat disebut sebagai peraturan perundang-undangan.

b. Bentuk keputusan-keputusan pejabat-pejabat administrasi negara berupa keputusan (beschikkingen) yang tidak bersifat mengatur, tetapi mengandung konsekwensi hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Inilah yang biasa disebut dengan surat-surat keputusan, misalnya mulai dari Keputusan Presiden sampai Keputusan Bupati ataupun Walikota.

c. Bentuk putusan hakim yang biasa disebut vonis ataupun putusan-putusan arbitrase yang apabila telah mempunyai kedudukan hukum yang tetap (in kracht) wajib dilaksanakan sebagaimana mestinya, misalnya putusan Mahkamah Agung, putusan Pengadilan Tinggi, putusan Pengadilan Negeri, atau putusan badan peradilan lainnya.

Sumber :
Jimly Asshiddiqie
http://www.jimly.com/pemikiran/view/19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar