Jumat, 20 November 2009

Hukum Adat dan Perubahan Sosial

Catatan Pembuka

Berbicara tentang hukum Adat dibenturkan dengan permasalahan sosial masih mengandung berbagai permasalahan (problem). Beberapa problem itu antara lain: pertama, konsep hukum Adat yang selama ini dikembangkan oleh perguruan tinggi adalah konsep yang ditemukan oleh Van Vollenhoven yang tentunya sudah tidak relevan pada masa sekarang. Kedua, hukum Adat yang merupakan sumber hukum Nasional belum dilegalkan sebagai peraturan tertulis, padahal hukum dalam konteks budaya lokal (local culture) perlu dikembangkan dalam era kekinian sehingga hukum yang berlaku di masyarakat terasa lebih inhern, acceptable, dan adaptif. Ketiga, penyelesaian sengketa Adat tidak mengenal pemisahan antara pidana dan perdata. Dan keempat, pemisahan horizontal tentang hukum tanah.

Tulisan ini dengan tanpa berpretensi, tidak bermaksud untuk menjawab semua persoalan di atas. Namun hanya mengupayakan pembahasan secara sederhana tentang persoalan hukum Adat dan interrelasinya dengan perubahan sosial. Pembahasan dimulai dengan mendefinisikan hukum Adat secara ontologis dan epistemologis. Bagian kedua, menjelaskan tentang urgensi hukum Adat dalam konteks keIndonesiaan. Selanjutnya, dibicarakan tentang masyarakat dan perubahan sosial dan hubungannya dengan hukum Adat. Pembahasan ditutup dengan kesimpulan.


Hukum Adat: Kajian Ontologis dan Epistemologis

Secara etimologis istilah hukum adat terdiri dari dua kata, yaitu hukum dan adat. Menurut SM. Amin, hukum adalah kumpulan peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi yang bertujuan mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara. Sedangkan adat adalah merupakan pencerminan daripada kepribadian sesuatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad. Dalam ranah pemikiran Arab kontemporer, adat atau tradisi diartikan dengan warisan budaya, pemikiran, agama, sastra, dan kesenian yang bermuatan emosional dan ideologis.[1] Oleh karena itu, pengertian hukum Adat menurut Prof. Dr. Soepomo, SH. adalah hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislatif meliputi peraturan yang hidup meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.

Beberapa pendapat pakar yang lain tentang pengertian hukum Adat antara lain:

1. Prof. M. M. Djojodigoeno, SH. mengatakan bahwa hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan.
2. Menurut Prof. Mr. C. Van Vollenhoven, hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan Belanda dahulu.

Batasan bidang yang menjadi objek kajian hukum Adat meliputi: a) Hukum Negara, b) Hukum Tata Usaha Negara, c) Hukum Pidana, d) Hukum Perdata, dan e) Hukum Antar Bangsa Adat.

Di masyarakat, hukum Adat nampak dalam tiga bentuk, yaitu:
1. Hukum yang tidak tertulis (jus non scriptum), merupakan bagian yang terbesar,
2. Hukum yang tertulis (jus scriptum), hanya sebagian kecil saja, misalnya peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh raja dahulu seperti pranatan-pranatan di Jawa.
3. Uraian hukum secara tertulis. Uraian ini merupakan suatu hasil penelitian.[2]


Urgensi Hukum Adat

1. Indonesia: Negara Multi Kultural
Indonesia merupakan negara yang terdiri dari bermacam-macam suku, ras, etnis, klan, agama. Hukum Adat muncul salah satunya adalah untuk menjaga dan mengakomodasi kekayaan kultural bangsa Indonesia yang semakin terpendam sehingga tetap dikenal dan menjadi elemen penting dalam perumusan hukum nasional yang adaptif dan mempunyai daya akseptabilitas yang tinggi untuk masyarakat.
2. Hukum Adat dalam Tata Hukum Nasional Indonesia
Kedudukan hukum Adat dalam konstelasi tata hukum nasional Indonesia senyampang ia tidak menghambat segera tercapainya masyarakat Sosialis Pancasila yang nota bene dari dulu sampai sekarang menjadi pengatur-pengatur hidup bermasyarakat kita, harus menjadi dasar-dasar elemen, unsur-unsur hukum yang kita masukkan dalam hukum nasional kita yang baru. Hal ini terdapat pada salah satu point dalam rumusan Dasar-dasar dan Asas-asas Tata Hukum Nasional oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional.


Konstruksi Hukum Adat

1. Sejarah Hukum Adat
Paling tidak ada tiga kategori periodesasi ketika berbicara tentang sejarah hukum Adat, yaitu:

a. Sejarah proses pertumbuhan atau perkembangan hukum Adat itu sendiri.
Peraturan adat istiadat kita ini pada hakikatnya sudah terdapat pada zaman pra Hindu. Adat istiadat tersebut merupakan adat Melayu. Lambat laun datang di kepulauan kita ini kultur Hindu, kemudian kultur Islam dan kultur Kristen yang masing-masing mempengaruhi kultur asli kita.
b. Sejarah hukum Adat sebagai sistem hukum dari tidak/belum dikenal hingga sampai dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan.
Sebelum zaman Kompeni–sebelum 1602–tidak diketemukan catatan ataupun tidak terdapat perhatian terhadap hukum Adat. Dalam zaman Kompeni itulah baru bangsa Asing mulai menaruh perhatian terhadap adat istiadat kita.
c. Sejarah kedudukan hukum Adat sebagai masalah politik hukum di dalam sistem perundang-undangan di Indonesia.
Pada periode ini, setidaknya dapat kita bagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1) masa menjelang tahun 1848, 2) pada tahun 1848 dan seterusnya, dan 3) sejak tahun 1927, yaitu hukum Adat berganti haluan dari ‘unifikasi’ beralih ke ‘kodifikasi’.[3]

2. Faktor Yang Mempengaruhi
Di samping faktor astronomis–iklim–dan geografis–kondisi alam–serta watak bangsa yang bersangkutan, maka faktor-faktor terpenting yang mempengaruhi proses perkembangan hukum adat adalah:

a. Magis dan animisme
Alam pikiran mistis-magis serta pandangan hidup animistis-magis sesungguhnya dialami oleh tiap bangsa di dunia ini. Faktor pertama ini khususnya mempengaruhi dalam empat hal, sebagai berikut: 1) pemujaan roh-roh leluhur, 2) percaya adanya roh-roh jahat dan baik, 3) takut kepada hukuman ataupun pembalasan oleh kekuatan gaib, dan 4) dijumpainya orang-orang yang oleh rakyat dianggap dapat melakukan hubungan dengan roh-roh dan kekuatan-kekuatan gaib tersebut.
b. Agama
1) Agama Hindu. Agama ini pada lebih kurang abad ke-8 dibawa oleh orang-orang India masuk ke Indonesia. Pengaruh terbesar agama ini terdapat di Bali meskipun pengaruh dalam hukum Adatnya sedikit sekali.
2) Agama Islam. Pengaruh terbesar nyata sekali terlihat dalam hukum perkawinan, yaitu dalam cara melangsungkan dan memutuskan perkawinan dan juga dalam lembaga wakaf.
3) Agama Kristen. Di sini juga nampak dengan jelas, bahwa di kalangan masyarakat yang sudah memeluk agama Kristen, hukum perkawinan Kristen diresepsi dalam hukum Adatnya.
c. Kekuasaan yang lebih tinggi daripada persekutuan hukum Adat.
Kekuasaan itu adalah kekuasaan yang meliputi daerah-daerah yang lebih luas daripada wilayah satu persekutuan hukum, seperti misalnya kekuasaan raja-raja, kepala Kuria, Nagari dan lain sebagainya.
d. Hubungan dengan orang-orang ataupun kekuasaan asing
Faktor ini sangat besar pengaruhnya. Hukum Adat yang semula sudah meliputi segala bidang kehidupan hukum, oleh kekuasaan asing–kekuasaan penjajahan Belanda–menjadi terdesak sedemikian rupa hingga akhirnya praktis menjadi bidang Perdata material saja.[4]


Masyarakat dan Perubahan Sosial

1. Interaksi Sosial dan Stratifikasi Sosial
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi[5] menyatakan bahwa salah satu unsur obyek kajian sosiologi adalah proses sosial. Bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena tanpa interaksi sosial, tak akan mungkin ada kehidupan bersama.[6] Berlangsungnya proses interaksi didasarkan pada pelbagai faktor, antara lain faktor imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati. Adapun syarat-syarat terjadinya interaksi sosial adalah kontrak sosial dan komunikasi.

Setiap masyarakat senantiasa mempunyai penghargaan tertentu terhadap hal-hal tertentu dalam masyarakat. Penghargaan itu akan menempatkan sesorang pada kedudukan yang lebih tinggi. Gejala ini menimbulkan adanya stratifikasi sosial (lapisan masyarakat), pembedaan masyarakat secara vertikal. Ukuran yang bisa dipakai untuk mengklasifikasi anggota masyarakat antara lain, ukuran kekayaan, kekuasaan, kehormatan, dan ilmu pengetahuan. Ketika pola interaksi sosial serta sistem stratifikasi masyarakat bergeser maka hukum Adat sebagai norma dasar yang lebih dekat kepada masyarakat akan berubah juga.

2. Perubahan Sosial dan Kebudayaan
Setiap manusia selama hidup pasti mengalami perubahan-perubahan. Perubahan itu dapat terjadi pada nilai sosial, norma sosial, pola perilaku organisasi, lapisan masyarakat, lembaga kemasyarakatan, interaksi sosial dan lain sebagainya. Perubahan sosial itu terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat seperti misalnya perubahan dalam unsur geografis, biologis, ekonomis, atau kebudayaan.

Para pakar sering mempersoalkan tentang hubungan antara perubahan sosial dan perubahan kebudayaan. Sebagian mengatakan bahwa perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan, karena kebudayaan mencakup semua aspek kehidupan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan perubahan sosial dan kebudayaan, yaitu: a) jumlah penduduk yang berubah, b) penemuan baru, c) pertentangan masyarakat (conflict) dan d) terjadinya pemberontakan atau revolusi.[7]


Catatan Penutup

Sudah sekian lama pembahasan tentang hukum Adat belum diadakan pembaharuan dan reobservasi ulang. Masyarakat tidaklah statis, ia akan selalu berubah dan mengalami proses dinamisasi. Seseorang yang tidak sempat menelaah susunan dan kehidupan masyarakat desa di Indonesia misalnya, akan berpendapat bahwa masyarakat tersebut statis, tidak maju, dan tidak berubah. Pernyataan demikian didasarkan pada pada pandangan yang sepintas, kurang mendalam, dan hanya berhenti pada satu titik. Karena tidak ada suatu masyarakat pun yang berhenti pada satu titik tertentu sepanjang masa. Apalagi perubahan yang terjadi di masyarakat dewasa ini berjalan normal dan menjalar dengan cepat berkat adanya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk segera dilakukan rekonstruksi dan reresearch terhadap konsep hukum Adat di Indonesia.
Wallahu a’lam bil al shawab. Semoga dapat ber(di)manfaat(kan). Amin.


DAFTAR BACAAN

Al Jaberi, M. Abid. 2000. Post Tradisonalisme Islam. Yogyakarta: LKiS.
Kimball Young dan Raymond, W. Mack. 1959. Sociology and Social Life. New York: American Book Company.
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (ed). 1974. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbitan FE UI.
Soekanto, Soerjono. 2001. Sosiologi (Suatu Pengantar). Jakarta: Rajawali Press
Wignjodipoero, Soerojo. 1989. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta: Haji Masagung.

Endnotes:
1. Al Jaberi, M. Abid. 2000. Post Tradisonalisme Islam. Yogyakarta: LkiS. hlm. 5.
2. Wignjodipoero, Soerojo. 1989. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta: Haji Masagung. hlm. 13-22.
3. Wignjodipoero, Soerojo. Op. Cit. hlm. 46-51.
4. Ibid. hlm. 31-35.
5. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (ed). 1974. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbitan FEUI.
6. Kimball Young dan Raymond, W. Mack. 1959. Sociology and Social Life. New York: American Book Company. hlm. 137.
7. Soekanto, Soerjono. 2001. Sosiologi (Suatu Pengantar). Jakarta: Rajawali Press. hlm. 333-359.

Sumber :
http://mlatiffauzi.wordpress.com/2007/09/30/hukum-adat-dan-perubahan-sosial/
30 September 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar