Jumat, 20 November 2009

Hukum Indonesia


Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.


Hukum Perdata Indonesia

Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.

Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga mempengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon (yaitu sistem hukum yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara yang terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat), sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.

Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW)yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian. Kitab undang-undang hukum perdata (disingkat KUHPer) terdiri dari empat bagian, yaitu:

Buku I tentang Orang; mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.

Buku II tentang Kebendaan; mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris dan penjaminan. Yang dimaksud dengan benda meliputi (i) benda berwujud yang tidak bergerak (misalnya tanah, bangunan dan kapal dengan berat tertentu); (ii) benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan (iii) benda tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian tanah, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 5 tahun 1960 tentang agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan dengan hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU tentang hak tanggungan.

Buku III tentang Perikatan; mengatur tentang hukum perikatan (atau kadang disebut juga perjanjian (walaupun istilah ini sesunguhnya mempunyai makna yang berbeda)), yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari (ditetapkan) undang-undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian), syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPer, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPer.

Buku IV tentang Daluarsa dan Pembuktian; mengatur hak dan kewajiban subyek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian.

Sistematika yang ada pada KUHP tetap dipakai sebagai acuan oleh para ahli hukum dan masih diajarkan pada fakultas-fakultas hukum di Indonesia.


Hukum Pidana Indonesia

Berdasarkan isinya, hukum dapat dibagi menjadi 2, yaitu hukum privat dan hukum publik (C.S.T Kansil).Hukum privat adalah hukum yg mengatur hubungan orang perorang, sedangkan hukum publik adalah hukum yg mengatur hubungan antara negara dengan warga negaranya. Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil mengatur tentang penentuan tindak pidana, pelaku tindak pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP). Hukum pidana formil mengatur tentang pelaksanaan hukum pidana materiil. Di Indonesia, pengaturan hukum pidana formil telah disahkan dengan UU nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana (KUHAP).


Hukum Tata Negara

Hukum tata negara adalah hukum yang mengatur tentang negara, yaitu antara lain dasar pendirian, struktur kelembagaan, pembentukan lembaga-lembaga negara, hubungan hukum (hak dan kewajiban) antar lembaga negara, wilayah dan warga negara.


Hukum Tata Usaha (Administrasi) Negara

Hukum tata saha (administrasi) negara adalah hukum yang mengatur kegiatan administrasi negara. Yaitu hukum yang mengatur tata pelaksanaan pemerintah dalam menjalankan tugasnya . hukum administarasi negara memiliki kemiripan dengan hukum tata negara.kesamaanya terletak dalam hal kebijakan pemerintah ,sedangkan dalam hal perbedaan hukum tata negara lebih mengacu kepada fungsi konstitusi/hukum dasar yang digunakan oleh suatu negara dalam hal pengaturan kebijakan pemerintah,untuk hukum administrasi negara dimana negara dalam "keadaan yang bergerak". Hukum tata usaha negara juga sering disebut HTN dalam arti sempit.


Hukum Acara Perdata Indonesia

Hukum acara perdata Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum perdata. Dalam hukum acara perdata, dapat dilihat dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata (KUHAPerdata).


Hukum Acara Pidana Indonesia

Hukum acara pidana Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum pidana. Hukum acara pidana di Indonesia diatur dalam UU nomor 8 tahun 1981.


Asas dalam hukum acara pidana

Asas didalam hukum acara pidana di Indonesia adalah:

1. Asas perintah tertulis, yaitu segala tindakan hukum hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari pejabat yang berwenang sesuai dengan UU.
2. Asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, jujur, dan tidak memihak, yaitu serangkaian proses peradilan pidana (dari penyidikan sampai dengan putusan hakim) dilakukan cepat, ringkas, jujur, dan adil (pasal 50 KUHAP).
3. Asas memperoleh bantuan hukum, yaitu setiap orang punya kesempatan, bahkan wajib memperoleh bantuan hukum guna pembelaan atas dirinya (pasal 54 KUHAP).
4. Asas terbuka, yaitu pemeriksaan tindak pidana dilakukan secara terbuka untuk umum (pasal 64 KUHAP).
5. Asas pembuktian, yaitu tersangka/terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (pasal 66 KUHAP), kecuali diatur lain oleh UU.


Hukum Antar Tata Hukum

Hukum antar tata hukum adalah hukum yang mengatur hubungan antara dua golongan atau lebih yang tunduk pada ketentuan hukum yang berbeda.


Hukum Adat di Indonesia

Hukum adat adalah seperangkat norma dan aturan adat yang berlaku di suatu wilayah


Hukum Islam di Indonesia

Hukum Islam di Indonesia belum bisa ditegakkan secara menyeluruh, karena belum adanya dukungan yang penuh dari segenap lapisan masyarakat secara demokratis baik melalui pemilu atau referendum maupun amandemen terhadap UUD 1945 secara tegas dan konsisten. Aceh merupakan satu-satunya provinsi yang banyak menerapkan hukum Islam melalui Pengadilan Agama, sesuai pasal 15 ayat 2 Undang-Undang RI No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu : Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darrussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum.

Di dalam Al Quran surat 5:44, Barang siapa yang memutuskan sesuatu tidak dengan yang Allah turunkan, maka termasuk orang yang kafir". Demikian juga dalam ayat 45, dan 47. Jadi umat Islam harus menegakkan hukum syariat Islam secara keseluruhan, karena Allah telah memerintahkan agar ummat-Nya masuk Islam secara keseluruhan (QS 2:208).


Istilah Hukum

Advokat

Sejak berlakunya UU nomor 18 tahun 2003 tentang advokat, sebutan bagi seseorang yang berprofesi memberikan bantuan hukum secara swasta - yang semula terdiri dari berbagai sebutan, seperti advokat, pengacara, konsultan hukum, penasihat hukum - adalah advokat.


Advokat dan pengacara

Kedua istilah ini sebenarnya bermakna sama, walaupun ada beberapa pendapat yang menyatakan berbeda. Sebelum berlakunya UU nomor 18 tahun 2003, istilah untuk pembela keadilan plat hitam ini sangat beragam, mulai dari istilah pengacara, penasihat hukum, konsultan hukum, advokat dan lainnya. Pengacara sesuai dengan kata-kata secara harfiah dapat diartikan sebagai orang yang beracara, yang berarti individu, baik yang tergabung dalam suatu kantor secara bersama-sama atau secara individual yang menjalankan profesi sebagai penegak hukum plat hitam di pengadilan. Sementara advokat dapat bergerak dalam pengadilan, maupun bertindak sebagai konsultan dalam masalah hukum, baik pidana maupun perdata. Sejak diundangkannya UU nomor 18 tahun 2003, maka istilah-istilah tersebut distandarisasi menjadi advokat saja.

Dahulu yang membedakan keduanya yaitu Advokat adalah seseorang yang memegang izin ber"acara" di Pengadilan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman serta mempunyai wilayah untuk "beracara" di seluruh wilayah Republik Indonesia sedangkan Pengacara Praktek adalah seseorang yang memegang izin praktek / beracara berdasarkan Surat Keputusan Pengadilan Tinggi setempat dimana wilayah beracaranya adalah "hanya" diwilayah Pengadilan Tinggi yang mengeluarkan izin praktek tersebut. Setelah UU No. 18 th 2003 berlaku maka yang berwenang untuk mengangkat seseorang menjadi Advokat adalah Organisasi Advokat.


Konsultan hukum

Konsultan hukum atau dalam bahasa Inggris counselor at law atau legal consultant adalah orang yang berprofesi memberikan pelayanan jasa hukum dalam bentuk konsultasi, dalam sistem hukum yang berlaku di negara masing-masing. Untuk di Indonesia, sejak UU nomor 18 tahun 2003 berlaku, semua istilah mengenai konsultan hukum, pengacara, penasihat hukum dan lainnya yang berada dalam ruang lingkup pemberian jasa hukum telah distandarisasi menjadi advokat.


Jaksa dan polisi

Dua institusi publik yang berperan aktif dalam menegakkan hukum publik di Indonesia adalah kejaksaan dan kepolisian. Kepolisian atau polisi berperan untuk menerima, menyelidiki, menyidik suatu tindak pidana yang terjadi dalam ruang lingkup wilayahnya. Apabila ditemukan unsur-unsur tindak pidana, baik khusus maupun umum, atau tertentu, maka pelaku (tersangka) akan diminta keterangan, dan apabila perlu akan ditahan. Dalam masa penahanan, tersangka akan diminta keterangannya mengenai tindak pidana yang diduga terjadi. Selain tersangka, maka polisi juga memeriksa saksi-saksi dan alat bukti yang berhubungan erat dengan tindak pidana yang disangkakan. Keterangan tersebut terhimpun dalam berita acara pemeriksaan (BAP) yang apabila dinyatakan P21 atau lengkap, akan dikirimkan ke kejaksaan untuk dipersiapkan masa persidangannya di pengadilan. Kejaksaan akan menjalankan fungsi pengecekan BAP dan analisa bukti-bukti serta saksi untuk diajukan ke pengadilan. Apabila kejaksaan berpendapat bahwa bukti atau saksi kurang mendukung, maka kejaksaan akan mengembalikan berkas tersebut ke kepolisian, untuk dilengkapi. Setelah lengkap, maka kejaksaan akan melakukan proses penuntutan perkara. Pada tahap ini, pelaku (tersangka) telah berubah statusnya menjadi terdakwa, yang akan disidang dalam pengadilan. Apabila telah dijatuhkan putusan, maka status terdakwa berubah menjadi terpidana.


Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Indonesia

Sumber Gambar :
http://matanews.com/wp-content/uploads/ma.jpg

Penegakan Hukum

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau darui sudut subyeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum itu melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa. 

Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pada nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tatapi dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan “Law enforcement” ke dalam bahasa indonesia dalam menggunakan perkataan “Penegakan Hukum” dalam arti luas dapat pula digunakan istilah “Penegakan Peraturan” dalam arti sempit. Pembedaan antara formalita aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa inggris sendiri dengan dikembangkannya istilah “the rule of law” atau dalam istilah “ the rule of law and not of a man” versus istilah “ the rule by law” yang berarti “the rule of man by law” Dalam istilah “ the rule of law” terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah “ the rule of just law”. Dalam istilah “the rule of law and not of man”, dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah “the rule by law” yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.

Dengan uraian diatas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam artian formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh Undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari pengertian yang luas itu, pembahasan kita tentang penegakan hukum dapat kita tentukan sendiri batas-batasnya Apakah kita akan membahas keseluruhan aspek dan dimensi penegakan hukum itu, baik dari segi subyeknya maupun obyeknya atau kita batasi haya membahas hal-hal tertentu saja, misalnya hanya menelaah aspek-aspek subyektif saja. Makalah ini memang sengaja dibuat untuk memberikan gambaran saja mengenai keseluruhan aspek yang terkait dengan tema penegakan hukum itu.


PENEGAKAN HUKUM OBYEKTIF

Seperti disebut di muka, secara obyektif, norma hukum yang hendak ditegakkan mencakup Pengertian hukum formal dan hukum materiil. Hukum formal hanya bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum materiil mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam bahasa yang tersendiri, kadang-kadang orang membedakan antara pengertian penegakan hukum dengan penegakan keadilan. Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pengertian pengertian “law enfocement” dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti hukum materil, diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam bahasa Inggris juga terkadang dibedakan antara konsepsi “court of law” dalam arti pengadilan hukum dan “court of justice” atau pengadilan keadilan. Bahkan dengan semangat yang sama pula, Mahkamah Agung di Amerika serikat disebut dengan istilah “Supreme Court of Justice”.

Istilah-istilah itu dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hukum yang harus ditegakkan itu pada intinya bukanlah norma aturan sendiri, melainkan nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya. Memang ada doktrin yang membedakan antara tugas hakim dalam proses pembuktian dalam perkara pidana dan perdata. Dalam perkara perdata dikatakan bahwa hakim cukup menemukan bukti formil belaka, sedangkan dalam perkara pidana barulah hakim diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran materil yang menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam peradilan pidana. Namun demikian, hakikat tugas hakim itu sendiri memang seharusnya mencari dan menemukan kebenaran materil untuk mewujudkan keadilan materiil. Kewajiban demikian berlaku, baik dalam bidang pidana maupun perdata. Pengertian kita tentang penegakan hukum sudah seharusnya berisikan penegakan keadilan itu sendiri, sehingga penegakan hukum dan penegakan keadilan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama.

Setiap norma hukum sudah dengan sendirinya mengandung ketentuan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban para subyek hukum dalam lalu lintas hukum. Norma-norma hukum yang bersifat dasar, tentulah berisi rumusan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang juga dasar dan mendasar. Karena itu, secara akademis, sebenarnya persoalan hak dan kewajiban asasi manusia memang menyangkut konsepsi yang niscaya ada dalam keseimbangan konsep hukum dan keadilan. Dalam setiap hubungan hukum terkandung di dalamnya dimensi hak dan kewajiban secara pararel dan bersilang. Karena itu secara akademis, Hak Asasi manusia mestinya diimbangi dengan kewajiban asasi manusia. Akan tetapi, dalam perkembangan sejarah, issue hak asasi manusia itu sendiri terkait erat dengan persoalan ketidakadilan yang timbul dalam kaitannya dengan persoalan kekuasaan. Dalam sejarah, kekuasaan yang diorganisasikan ke dalam dan melalui organ-organ negara, seringkali terbukti melahirkan penindasan dan ketidakadilan. Karena itu, sejarah umat manusia mewariskan gagasan perlindungan da penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Gagasan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia ini bahkan diadopsi ke dalam pemikiran mengenai pembatasan kekuasaan yang kemudian dikenal dengan aliran konstitusionalisme. Aliran konstiotusionalisme inilah yang memberi warna modern terhadap ide-ide demokrasi dan nomokrasi (negara hukum) dalam sejarah, sehingga perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dianggap sebagai ciri utama yang perlu ada dalam setiap negara hukum yang demokratis (democratische rechsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar pada hukum (Constitutional democracy).

Dengan perkataan lain, issue hak asasi manusia itu sebenarnya terkait erat dengan persoalan penegakan hukum dan keadilan itu sendiri. Karena itu, sebenarnya, tidaklah terlalu tepat untuk mengembangkan istilah penegakan hak asasi manusia secara tersendiri. Lagi pula, pakaha hak asasi manusia dapat ditegakkan?. Bukankah yang ditegakkan itu adalah aturan hukum dan konstitusi yang menjamin hak asasi manusia itu, dan bukannya hak asasi manusia itu sendiri?. Namun, dalam praktek sehari-hari, kita memang sudah salah kaprah. Kita sudah terbiasa menggunakan istilah penegakan “hak asasi manusia “. Masalahnya, kesadaran umum mengenai hak asasi manusia dan kesadaran untuk mengghormati hak-hak asasi orang lain di kalangan kita pun memang belum berkembang secara sehat.


APARATUR PENEGAK HUKUM

Aparatur penegak hukum menncakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa hakim dan petugas-petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.

Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat 3 elemen penting yang mempengaruhi, yaitu: (i) institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya; (ii) budaya kerja ytang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya, dan (iii) perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materilnya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan hukum secara sistematik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata.

Namun, selain ketiga faktor diatas, keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan hukum di negra kita selama ini, sebenarnya juga memerlukan analisis yang lebih menyeluruh lagi. Upaya penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan persoalan kita sebagai negara hukum yang mencita-citakan upata menegakan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyatr indonesia. Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri atau belummencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakatnya.

Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lai dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya penegakan hukum tetapi juga pembaharuan hukum atau pembuatan hukum baru. Karena itu, ada empat fungsi penting yang memerlukan perhatian yang seksama, yaitu:

(i) pembuatan hukum (‘the legislation of law atau Law and rule making),

(ii) sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum ( socialization and promulgation of law) dan

(iii) penegakan hukum (the enforcement of law). Ketiganya membutuhkan dukungan

(iv) administrasi hukum (the administration of law) yang efektif dan efisien yang dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang bertanggungjawab (accountable).

Karena itu, pengembangan administrasi hukum dan sistem hukum dapat disebut sebagai agenda penting yang keempat sebagai tambahan terhadap ketiga agenda tersebut diatas. Dalam arti luas, The administration of law itu mencakup pengertian pelaksanaan hukum (rules executing) dan tata administrasi hukum itu sendiri dalam pengertian yang sempit. Misalnya dapat dipersoalkan sejauhmana sistem dokumentasi dan publikasi berbagai produk hukum yang ada selama ini telah sikembangkan dalam rangka pendokumentasian peraturan-peraturan (regels), keputusan-keputusan administrasi negara(beschikings), ataupun penetapan dan putusan (vonius) hakim di seluruh jajaran dan lapisan pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah.

Jika sistem administrasinya tidak jelas, bagaimana mungkin akses masyarakat luas terhadap aneka bentuk produk hukum tersebut dapat terbuka?. Jika akses tidak ada, bagaimana mungkin mengharapkan masyarakat dapat taat pada aturan yang tidak diketahuinya?. Meskipun ada teori “fiktie” yang diakui sebagai doktrin hukum yang bersifat universal, hukum juga perlu difungsikan sebagai sarana pendidikan dan pembaruan masyarakat (social reform), dan karena itu ketidak tahuan masyarakat akan hukum tidak boleh dibiarkan tanpa usaha sosial dan pembudayaan hukum secara sistematis dan bersengaja.

Sumber :

http://www.solusihukum.com/artikel/artikel49.php

5 Oktober 2006


Pembangunan Nasional Berparadigma Hukum

1. Wawasan atau Paradigma Hukum:

Dalam Negara Hukum segala sesuatu dalam dinamika kehidupan kenegaraan haruslah didasarkan atas hukum sebagai pegangan tertinggi. Ketika UUD 1945 disusun, wawasan Negara Hukum (Rechtsstaat) mewarnai corak pemikiran kenegaraan yang diadopsikan ke dalam rumusan UUD 1945. Harus diakui bahwa cita-cita ideal Negara Hukum itu tidak mudah diterapkan. Di masa pemerintahan Presiden Soekarno sejak tahun 1945 sampai tahun 1967, yang dianggap panglima yang sesungguhnya dalam penyelenggaraan negara Republik Indonesia adalah politik, bukan hukum. Dari sinilah dikenal adanya istilah politik sebagai panglima. Sebaliknya, di masa pemerintahan Presiden Soeharto sejak tahun 1967 sampai tahun 1998, yang dianggap sebagai panglima adalah ekonomi. Semua keputusan seakan diabdikan untuk kepentingan pembangunan ekonomi, khususnya kepentingan untuk membangun pertumbuhan ekonomi nasional. Karena itu, ketika kita memasuki era reformasi terbukalah peluang bagi bangsa kita untuk mengubah paradigma pembangunan nasional dan wawasan penyelenggaraan negara dari berparadigma politik dan ekonomi pada masa sebelumnya menjadi berparadigma hukum. Dalam rangka reformasi ke arah perwujudan cita-cita negara yang berparadigma atau berwawasan hukum itu, hukum dan sistem hukum itu sendiri juga perlu direformasi terlebih dulu. Sebagaimana menjadi jargon dalam gerakan reformasi pada tahun 1998 itu, ialah perlunya dilakukan tindakan reformasi yang simultan, yaitu reformasi politik, reformasi ekonomi, dan reformasi hukum. Bahkan, dalam kenyataannya, reformasi hukum itulah yang bersifat instrumental dalam rangka perwujudan gagasan reformasi politik dan ekonomi secara sekaligus. Artinya, langkah-langkah dan upaya-upaya reformasi yang dilakukan di bidang politik dan ekonomi itu pada pokoknya diwujudkan dalam bentuk-bentuk norma aturan hukum yang baru, sehingga gagasan perbaikan yang dicita-citakan dituangkan secara resmi dalam bentuk hukum yang dapat dijadikan pegangan normative di masa depan.


2. Desain Makro Kebijakan Hukum:

Dalam rangka pembangunan nasional yang berparadigma atau berwawasan Hukum dan Negara Hukum, perlu disusun suatu desain makro yang tidak hanya menjadikan hukum sebagai satu bidang pembangunan saja ataupun apalagi hanya satu sector dalam kerangka pembangunan nasional yang menyeluruh. Kepala Negara Republik Indonesia secara simbolik adalah Undang-Undang Dasar yang sekaligus berfungsi menjadi semacam ‘kitab suci’ dari ‘syar’at bernegara’ (civil religion) bagi segenap warga negara. Semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Bahkan semua manusia dijamin kemerdekaannya memiliki dan menggunakan hak-hak asasinya masing-masing. Semua perbuatan atau kegiatan warga negara yang berkenaan dengan negara dan masalah-masalah kenegaraan harus dilakukan atas dasar peraturan perundang-undangan yang pada pokoknya ditujukan untuk mencapai dan mewujudkan tujuan bernegara. Tidak ada institusi apapun yang memiliki kekuasaan apapun dalam negara Indonesia yang tidak terbatas dan dibatasi. Tidak ada dan tidak boleh ada peraturan perundang-undangan apapun yang ditetapkan secara sewenang-wenang tanpa prosedur demokrasi, tanpa pembatasan dan pengawasan, termasuk keterbukaannya untuk dikontrol secara demokratis oleh masyarakat luas. Dalam negara hukum Indonesia, sistem peradilan bekerja secara independent dan tidak memihak, dan bagi setiap warga negara yang dirugikan oleh keputusan pejabat administrasi negara terbuka peluang yang adil untuk menuntut keadilan melalui peradilan tata usaha negara yang juga independent dan tidak memihak, kecuali kepada kebenaran dan keadilan itu sendiri.


3. Wawasan Kepemimpinan Hukum:

Dari norma-norma tersebut di atas, yang pertama-tama penting disadari adalah bahwa dalam negara hukum Republik Indonesia, yang sesungguhnya menjadi pemimpin tertinggi adalah konstitusi, yaitu UUD, sesuai prinsip ‘the rule of law, and not of man’. Kedua, konstitusi dan norma-norma hukum yang berada di bawahnya terjalin sebagai satu kesatuan sistem syari’at kenegaraan bagi setiap warga negara, yang menjadikan setiap warga negara bersamaan kedudukannya, hak dan kewajibannya di hadapan hukum dan ‘pemerintahan’. Ketiga, semua tindakan dan kebijakan pemerintahan, termasuk kebijakan pembangunan nasional haruslah didasarkan atas aturan hukum yang telah ditetapkan lebih dulu sesuai dengan asas legalitas. Hal ini tidak perlu menyebabkan proses pemerintahan mengabaikan pentingnya ‘mission driven’, karena pada hakikatnya hukum itu sendiri justru dimaksudkan untuk berfungsi instrumental terhadap upaya perwujudan missi yang diemban itu.


4. Pembangunan Sistem Hukum:

Dengan paradigma yang demikian itu, pembangunan nasional Indonesia dalam arti pembangunan hukum nasional mencakup komponen pembangunan ‘structural-institutional’, komponen pembangunan ‘cultural-behavioral’, dan pembangunan hukum instrumental yang menyangkut materi hukum nasional. Ketiga komponen pembangunan hukum tersebut berlaku, baik dalam kerangka fungsi-fungsi legislasi, administrasi, maupun fungsi judicial. Dalam ketiga fungsi itu, masing-masing terkait adanya institusi-institusi hukum, adanya unsur subjek hukum pendukungnya, dan instumen normative yang mengaturnya. Dalam arti yang lebih sempit, instrument peraturan perundang-undangan itu sendiri terkait pula dengan kegiatan pembuatannya (law making), kegiatan pemasyarakatannya (law promulgation and law socialisation), dan kegiatan penegakannya (law enforcement) yang di dalamnya juga terkait dengan elemen institusionalnya, elemen manusianya, dan elemen-elemen proseduralnya.

Untuk menunjang keseluruhan fungsi dan aktifitas terkait dengan hukum itu diperlukan (a) makro desain kebijakan pembangunan hukum nasional yang menyeluruh, dan
(b) pusat administrasi informasi hukum yang terpadu yang mencakup informasi berkenaan dengan peraturan (regelen), penetapan administrasi negara (beschikkingen), dan putusan-putusan peradilan (vonis), serta putusan-putusan penyelesaian sengketa lain, seperti arbitrase dan ‘despute desolution’ lainnya. Sistem informasi terpadu tersebut diharapkan dapat pula mencakup kebutuhan baik untuk tingkat pusat maupun sampai ke tingkat daerah dan bahkan tingkat desa di seluruh Indonesia. Pemahaman kita tentang sistem hukum nasional juga perlu diperluas sehingga mencakup pengertian yang lebih menyeluruh. Sistem hukum dapat dikaitkan dengan pengertian atau dilihat dari cabang kekuasaan, dan dapat pula dari proses kegiatannya.

Dari segi cabang kekuasaannya, sistem hukum itu mencakup:
a. Kekuasaan legislative (legislative power), yaitu cabang kekuasaan yang menentukan arah kebijakan pemerintahan dan menetapkan peraturan perundang-undangan pada tingkatan tertentu, yaitu biasanya dalam bentuk Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang.
b. Kekuasaan eksekutif (executive branch), yaitu cabang kekuasaan yang menjalankan fungsi pemerintahan dan melaksanakan arahan-arahan yang ditentukan oleh atau berdasarkan UUD dan UU;
c. Kekuasaan judikatif atau judicial (judiciary)., yaitu cabang kekuasaan yang menguji materi peraturan dan menilai pelaksanaan undang-undang serta mengadili perkara-perkara pelanggaran hukum pada umumnya.

Dari segi lain (proses kegiatannya), sistem hukum nasional itu juga meliputi fungsi-fungsi atau kegiatan-kegiatan:

a. Pembuatan hukum (law making), yaitu menyangkut kegiatan-kegiatan penelitian, perencanaan, pengkajian, perancangan, pembahasan dan pengesahan rancangan peraturan menjadi peraturan resmi.
b. Pengadministrasian hukum (the administration of law), yaitu menyangkut kegiatan pengadministrasian dalam arti sempit berupa penomeran, penerbitan, pengumuman, dan pendokumentasian ataupun dalam arti luas mencakup pelaksanaan atau penerapan hukum dalam praktek penyelenggaraan negara. Dalam pengertiannya yang sempit, misalnya, dapat dipertanyakan sejauhmana produk-produk peraturan perundang-undangan, keputusan-keputusan pejabat administrasi negara, dan vonis-vonis hakim mulai dari tingkat pusat sampai ke daerah-daerah di seluruh Indonesia telah terdokumentasikan dengan baik, tentu masih menjadi tanya tanya besar.
c. Pemasyarakatan hukum (the socialization and promulgation of law), yaitu menyangkut kegiatan penyebarluasan dan pemasyarakatan infomasi peraturan perundang-undangan. Meskipun dalam ilmu hukum dikenal adanya teori fiktie yang menentukan bahwa pada saat suatu peraturan diundangkan maka pada waktu yang bersamaan semua orang sudah dianggap tahu hukum. Padahal dalam kenyataannya, apalagi di lingkungan negara sebesar dan seberagam dengan tingkat perkembangan yang tidak merata seperti Indonesia, teori fiktie itu hanyalah teori hayalan. Untuk mengatasi kelemahannya itulah diperlukan langkah-langkah bersengaja untuk memasyarakatkan segala peraturan perundang-undangan dengan sungguh-sungguh.
d. Penegakan hukum (the enforcement of law), yaitu menyangkut kegiatan pengawasan terhadap penyimpangan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, penghakiman, dan pemidanaan atau penetapan vonis oleh hakim, serta kegiatan eksekusi putusan, dan kegiatan pemasyarakatan kembali (resosialisasi). Keempat kegiatan itu ada di tingkat pusat dan ada pula di daerah. Bahkan, dalam rangka pembudayaan hukum dan tradisi taat hukum, keseluruhan kegiatan itu juga harus dilihat dalam konteks kehidupan di lapisan pedesaan atau masyarakat desa yang berdasarkan konsepsi UU No. 22/1999 disebut sebagai ‘self governing communities’. Dengan demikian, semua kegiatan tersebut di atas dapat dilihat, baik pada tingkat pusat, daerah-daerah provinsi dan kabupaten/kota, serta tingkat desa.

Dalam ketiga cabang kekuasaan dan tiga jenis kegiatan hukum tersebut serta di tiap tingkatan pusat, daerah dan desa tersebut di atas, terkait adanya tiga elemen sistem hukum sekaligus, yaitu:

a. Institusi hukum;
b. Tradisi dan Kultur Hukum;
c. Perangkat Instrumental Materi Normatifnya berupa peraturan tertulis ataupun peraturan tidak tertulis.


5. Tiga Jenis Putusan Hukum

Dari apa yang diuraikan di atas, dapat diketahui bahwa apa yang kita kenal dengan istilah hukum dan sistem hukum itu sendiri sebenarnya sangatlah luas cakupan pengertiannya. Jika hukum dimengerti hanya sebagai perangkat peraturan yang bersifat tertulis, maka pengertian demikian jelaslah merupakan pengertian yang paling sempit dari kata hukum itu. Dalam arti yang tidak terlalu luas, tetapi dalam bentuknya yang paling nyata apa yang kita kenal dengan sebutan hukum itu sebenarnya menyangkut tiga jenis putusan hukum, yaitu:

a. Bentuk peraturan yang berisi materi aturan sebagai hasil kegiatan pengaturan terhadap kepentingan umum (regels). Biasanya bentuk seperti inilah yang tepat disebut sebagai peraturan perundang-undangan.

b. Bentuk keputusan-keputusan pejabat-pejabat administrasi negara berupa keputusan (beschikkingen) yang tidak bersifat mengatur, tetapi mengandung konsekwensi hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Inilah yang biasa disebut dengan surat-surat keputusan, misalnya mulai dari Keputusan Presiden sampai Keputusan Bupati ataupun Walikota.

c. Bentuk putusan hakim yang biasa disebut vonis ataupun putusan-putusan arbitrase yang apabila telah mempunyai kedudukan hukum yang tetap (in kracht) wajib dilaksanakan sebagaimana mestinya, misalnya putusan Mahkamah Agung, putusan Pengadilan Tinggi, putusan Pengadilan Negeri, atau putusan badan peradilan lainnya.

Sumber :
Jimly Asshiddiqie
http://www.jimly.com/pemikiran/view/19

Peradilan Agama dan Reformasi Hukum Islam

SEJAK dibuat UU No. 7 Tahun 1989 (Undang-Undang Peradilan Agama) yang mulai diberlakukan pada 29 Desember 1989, landasan yuridis pelaksanaan peradilan agama di Indonesia diharapkan semakin mantap dan kuat. Pada usianya yang ke -16, UU tersebut memerlukan berbagai evaluasi dalam pelaksanaannya dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana efektivitas pelaksanaan undang-undang tersebut di masyarakat selama ini.

Adanya kemajuan dalam mengatur eksistensi peradilan agama melalui pembentukan UU No. 7 Tahun 1989 ternyata menjadi pendorong semangat dalam memunculkan produk-produk perundang-undangan hukum Islam yang sangat dibutuhkan masyarakat. Sebagai contoh, lahirnya UU Pengelolaan Zakat, UU Penyelenggaraan Ibadah Haji, dibuatnya aturan hukum yang berkaitan dengan perbankan Syariah dll.

Yurispudensi Peradilan Agama

Berbicara lembaga pengadilan dan soal peradilan tentu tidak bisa lepas dengan membicarakan masalah yurisprudensi yang akan selalu dihasilkan dalam keputusan berbagai peradilan.

Dalam hal peradilan agama pun masyarakat tetap berharap semangat hakim-hakim di pengadilan agama terjaga tinggi untuk bisa menghasilkan berbagai keputusan yang sesuai dengan aspirasi hukum dan keadilan masyarakat yang dinamis. Diharapkan pengadilan agama bisa melahirkan yurisprudensi yang dapat menunjang kemajuan masyarakat dan pengembangan hukum Islam.

Untuk menciptakan berbagai yurisprudensi tersebut tentu tetap diperlukan semangat yang tinggi dalam berijtihad di kalangan para hakim . Hal ini dikarenakan dalam khasanah hukum Islam ijtihad merupakan sarana dalam memecahkan berbagai problem hukum yang selalu timbul silih berganti di masyarakat.

Melalui ijtihad ini diharapkan akan tercipta sebuah solusi dalam memecahkan persoalan hukum, terutama dalam hukum Islam, melalui jalur peradilan agarna yang keputusannya bisa mencerminkan nilai-nilai keadilan yang sangat dinanti-nanti masyarakat.

Dalam hal ini yurisprudensi dapat memberikan masukan berupa hasil keputusan hakim dalam menangani kasus konkrit yang dihadapi pengadilan. Keputusan ini bisa dijadikan bahan untuk pembentukan reformasi hukum yang sesuai dengan perkembangan masyarakat senyatanya.

Di dalam reformasi hukum tercakup agenda penataan kembali berbagai institusi hukum dan politik mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat pemerintahan desa; pembaruan berbagai perangkat peraturan perundang-undangan; pembaruan dalam sikap masyarakat; cara berpikir masyarakat dan pembenahan perilaku masyarakat ke arah kondisi yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman (Jimly Ashshiddiqie, 2000).

Dengan perkataan lain, dalam agenda reformasi hukum itu tercakup pengertian reformasi kelembagaan, reformasi perundang-undangan dan reformasi budaya hukum.

Eksistensi Hukum Islam yang sejak dulu dipahami sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kesadaran masyarakat Indonesia mengenai hukum dan keadilan yang memang jelas keberadaan atau eksistensinya dalam kerangka sistem hukum nasional. Secara instrumental, banyak ketentuan perundangan Indonesia yang telah mengadopsi berbagai materi hukum Islam ke dalam pengertian hukum nasional.

Secara institusional pun, eksistensi pengadilan agama juga terus dimantapkan keberadaannya. Apalagi dengan dibuatnya UU No. 7 Tahun 1989 menjadikan posisi pengadilan agama semakin kuat.

Dengan lahirnya undang - undang tersebut banyak perubahan dan kemajuan penting serta mendasar pada lingkungan peradilan agama, yakni , peradilan agama telah menjadi peradilan mandiri, kedudukannya telah benar-benar sejajar dan sederajat dengan peradilan militer, peradilan umum dan peradilan tata usaha negara.

Nama, susunan, wewenang dan hukum acaranya telah sama dan seragam di seluruh Indonesia. Terciptanya unifikasi hukum acara peradilan agama itu akan memudahkan terwujudnya ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan dalam lingkungan peradilan agama.

Perlindungan terhadap wanita lebih ditingkatkan, dengan jalan, antara lain, memberikan hak yang sama kepada istri dalam berproses dan membela kepentingannya di muka pengadilan.

Lebih memantapkan upaya penggalian berbagai asas-asas hukum dan kaidah-kaidah hukum Islam sebagai salah satu bahan baku dalam penyusunan dan pembinaan hukum nasional melalui yurisprudensi (Muhammad Daud Ali, 1993).

Adanya UU No. 7 Tahun 1980 di atas telah mewujudkan amanat Pasal 10 Ayat (1) dari Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Tahun 1970 tentang Kedudukan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama dan Pasal 12 tentang Susunan, Kekuasaan dan Hukum acaranya. Selain itu, pembangunan hukum nasional berwawasan nusantara yang sekaligus juga berwawasan bhineka tunggal ika dalam bentuk UU peradilan agama telah terlaksana.

Dari uraian di atas terlihat begitu pentingnya yurisprudensi yang dihasilkan peradilan agama melalui Ijtihad yang ternyata sangat berperanan besar untuk menggali asas-asas hukum dan kaidah-kaidah hukum Islam yang hidup di masyarakat.

Asas-asas hukum ini sangat penting sebagai bahan untuk menyusun reformasi hukum Islam dan menyusun pembentukan hukum nasional.

Terobosan Hukum

Secara sosiologis empiris praktik penerapan Hukum Islam itu di tengah-tengah masyarakat juga terus berkembang dan bahkan makin lama makin meningkat dan meluas ke sektor-sektor kehidupan hukum yang sebelumnya belum diterapkan menurut ketentuan hukum Islam. Bahkan karena faktor perkembangan masyarakat ini bisa saja banyak kasus-kasus baru yang masuk ke pengadilan agama yang harus diputus, tentu saja sebatas kewenangan yang dimiliki.

Dalam hal ini tepap akan diperlukan terobosan hukum berupa ijtihad dari para hakim pengadilan agama, bilamana dalam peraturan perundangan-perundangan yang ada tidak jelas mengatur kaidah-kaidah hukum yang berhubungan dengan kasus-kasus itu. Perkembangan ini tentu juga harus direspon oleh pendidikan hukum di Indonesia agar pengetahuan dan penyebaran kesadaran mengenai eksistensi hukum Islam itu bisa meningkat dari waktu ke waktu.

Ijtihad memang begitu penting di lingkungan, sebab hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat. Apalagi dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, hakim merupakan perumus dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian, hakim harus terjun ke tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang berkembang di masyarakat. Dengan demikian hakim bisa membuat putusan yang sesuai dengan aspirasi keadilan masyarakat. Hal inilah yang menjadi inti makna ijtihad dalam memecahkan masalah-masalah hukum yang konkrit ada di masyarakat. Sehubungan dengan itu, perlu ditelaah mengenai berbagai aspek perkembangan eksistensial hukum Islam itu dalam kaitannya dengan keinginan untuk mengadakan

reformasi hukum nasional yang sekarang tengah berlangsung. Di satu segi, hukum Islam perlu dijadikan objek penelaahan, sehingga agenda pembaruan atau reformasi hukum nasional juga mencakup pengertian pembaruan terhadap hukum Islam itu sendiri. Di pihak lain, sistem hukum Islam itu sendiri dapat pula berperan penting dalam rangka pelaksanaan agenda reformasi hukum nasional sebagai keseluruhan.

Jangan sampai, misalnya, karena kesibukan memikirkan keseluruhan sistem hukum nasional yang perlu direformasi, menyebabkan lupa memperhitungkan faktor sistem hukum Islam yang sangat penting artinya dalam keseluruhan pengertian sistem hukum nasional yang sedang mengalami proses transformasi menuju ke masa depan (Jimly Ashshiddiqie, 2000).

Dalam hal ini tentu saja masyarakat berharap UU No. 7 Tahun 1989 akan berjalan lebih baik lagi di waktu mendatang dan berharap pula reformasi hukum nasional yang sekaligus pula reformasi hukum Islam bisa membuahkan produk produk hukum Islam yang bisa menampung dinamika perkembangan zaman yang kian maju pesat. Diperlukan berbagai antisipasi dengan cara menggali sebanyak mungkin asas dan kaidah hukum Islam yang bisa diterapkan untuk menyelesaikan persoalan konkrit di masyarakat. (11)

Sumber :
Agus Rianto, SH, dosen FH UNS
http://www.suaramerdeka.com/harian/0512/30/opi03.htm
30 Desember 2005

Cyberlaw - Tantangan Bagi Perkembangan Hukum Di Indonesia

Thomas L. Friedman seorang coloumnist asing The New York Times dalam bukunya ”World is Flat: A Brief History of the Twenty-first Century” menggambarkan bagaimana peradaban dunia saat ini. Friedman menggambarkan bahwa globalisasi merupakan hal yang tidak bisa di tolak lagi oleh setiap bangsa. Friedman memaparkan tiap tahapan-tahapan globalisasi secara rinci. Globalisasi menurut Friedman terjadi pada hampir di seluruh negara di dunia. Globalisasi yang dijabarkan termasuk didalamnya juga pengaruh besar teknologi informasi dalam aktifitas manusia .

Perkembangan teknologi informasi yang terjadi pada hampir setiap negara sudah merupakan ciri global yang mengakibatkan hilangnya batas-batas negara (borderless). Negara yang sudah mempunyai infrastruktur jaringan informasi yang lebih memadai tentu telah menikmati hasil pengembangan teknologi informasinya, negara yang sedang berkembang dalam pengembangannya akan merasakan kecenderungan timbulnya neo-kolonialisme . Hal tersebut menunjukan adanya pergeseran paradigma dimana jaringan informasi merupakan infrastruktur bagi perkembangan suatu negara. Tanpa penguasaan dan pemahaman akan teknologi informasi ini, tantangan globalisasi akan menyebabkan ketergantungan yang tinggi terhadap pihak lain dan hilangnya kesempatan untuk bersaing karena minimnya pemanfaatan teknologi informasi.

Disadari betul bahwa perkembangan teknologi informasi yang berwujud internet, telah mengubah pola interaksi masyarakat, seperti interaksi bisnis, ekonomi, sosial, dan budaya. Internet telah memberikan kontribusi yang demikian besar bagi masyarakat, perusahaan / industri maupun pemerintah. Hadirnya Internet telah menunjang efektifitas dan efisiensi operasional setiap aktifitas manusia.

Jhon Chamber, President dan CEO terkemuka di Amerika bahkan menyebut bahwa saat ini revolusi internet memiliki dampak cukup besar bahkan mungkin lebih besar dari revolusi industri yang pernah terjadi .

Pesatnya perkembangan di bidang teknologi informasi saat ini merupakan dampak dari semakin kompleksnya kebutuhan manusia akan informasi itu sendiri. Dekatnya hubungan antara informasi dan teknologi jaringan komunikasi telah menghasilkan dunia maya yang amat luas yang biasa disebut dengan teknologi cyberspace. Teknologi ini berisikan kumpulan informasi yang dapat diakses oleh semua orang dalam bentuk jaringan-jaringan komputer yang disebut jaringan internet.

Meskipun infrastruktur di bidang teknologi informasi di Indonesia tidak sebanyak negara-negara lain, namun bukan berarti Indonesia lepas dari ketergantungan terhadap teknologi informasi. Menurut pengamatan penulis setidaknya ada beberapa aspek kehidupan masyarakat di Indonesia yang saat ini dipengaruhi oleh peran teknologi informasi seperti; pelayanan informasi, transaksi perdagangan dan bisnis, serta pelayanan jasa oleh pemerintah dan swasta.

Perkembangan teknologi informasi termasuk internet di dalamnya juga memberikan tantangan tersendiri bagi perkembangan hukum di Indonesia. Hukum di Indonesia di tuntut untuk dapat menyesuaikan dengan perubahan sosial yang terjadi. Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa perubahan-perubahan sosial dan perubahan hukum atau sebaliknya tidak selalu berlangsung bersama-sama. Artinya pada keadaan tertentu perkembangan hukum mungkin tertinggal oleh perkembangan unsur-unsur lainnya dari masyarakat serta kebudahaannya atau mungkin hal yang sebaliknya.

Jeane Nelttje Saly berpendapat bahwa perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat menimbulkan akibat yang menguntungkan dan akibat yang merugikan bagi masyarakat. Menguntungkan masyarakat karena antara lain komunikasi yang mudah dengan menggunakan informasi elektronik. Merugikan karena hukum terkait belum cukup mampu memfungsikan dirinya sebagai sarana ketertiban.

Disinilah tampak jelas bahwa hukum di Indonesia masih tertinggal (bahkan tertinggal jauh) dengan perubahan yang ada di masyarakat. Hukum di Indonesia belum mengenal istilah internet, carding, e-commerce atau istilah lainnya di bidang Teknologi Informasi. Dengan kata lain cyberlaw di Indonesia belum benar-benar terwujud seperti yang diharapkan masyarakat.

Cyberlaw mungkin dapat diklasifikasikan sebagai rejim hukum tersendiri, karena memiliki multi aspek; seperti aspek pidana, perdata, internasional, administrasi, dan aspek Hak Kekayaan Intelektual.

Penulis mendefinisikan cyberlaw atau kata lain dari cyberspace law sebagai aspek hukum yang berkaitan dengan penggunaan teknologi informasi pada ruang maya (cyberspace). Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Barda Nawawi Arief menyebut istilah cyber dengan ”mayantara”. Berbeda dengan Barda Nawawi Arief, Edmon Makarim dari Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi Universitas Indonesia enggan menyebut cyberlaw dengan kata maya. Karena menurut Edmon Makarim, istilah maya lebih tepat diartikan sebagai bias, bukan cyber. Namun apapun istilahnya, sampai saat ini belum ada satupun regulasi di Indonesia yang menyebut atau mendefinisikan istilah cyber atau mayantara. Karena pada dasarnya istilah cyber di Indonesia saat ini bukan merupakan istilah hukum.

Menurut pendangan penulis ada beberapa ruang lingkup cyberlaw yang memerlukan perhatian serius di Indonesia saat ini yakni;

1. Kriminalisasi Cyber Crime atau kejahatan di dunia maya. Dampak negatif dari kejahatan di dunia maya ini telah banyak terjadi di Indonesia. Namun karena perangkat aturan yang ada saat ini masih belum cukup kuat menjerat pelaku dengan sanksi tegas, kejahatan ini semakin berkembang seiring perkembangan teknologi informasi. Kejahatan sebenarnya tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, tidak ada kejahatan tanpa masyarakat. Benar yang diucapankan Lacassagne bahwa masyarakat mempunyai penjahat sesuai dengan jasanya . Betapapun kita mengetahui banyak tentang berbagai faktor kejahatan yang ada dalam masyarakat, namun yang pasti adalah bahwa kejahatan merupakan salah satu bentuk prilaku manusia yang terus mengalami perkembangan sejajar dengan perkembangan masyarakat itu sendiri.

2. Aspek Pembuktian. Saat ini sistem pembuktian hukum di Indonesia (khusunya dalam pasal 184 KUHAP) belum mengenal istilah bukti elektronik/digital (digital evidence) sebagai bukti yang sah menurut undang-undang. Masih banyak perdebatan khususnya antara akademisi dan praktisi mengenai hal ini. Untuk aspek perdata, pada dasarnya hakim dapat bahkan dituntun untuk melakukan rechtsvinding (penemuan hukum). Tapi untuk aspek pidana tidak demikian. Asas legalitas menetapkan bahwa tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana jika tidak ada aturan hukum yang mengaturnya (nullum delictum nulla poena sine previe lege poenali) . Untuk itulah dibutuhkan adanya dalil yang cukup kuat sehingga perdebatan akademisi dan praktisi mengenai hal ini tidak perlu terjadi lagi.

3. Aspek Hak Atas Kekayaan Intelektual di cyberspace, termasuk didalamnya hak Cipta dan Hak Milik Industrial yang mencakup paten, merek, desain industri, rahasia dagang, sirkuit terpadu, dan lain-lain.

4. Standardisasi di bidang telematika. Penetapan standardisasi bidang telematika akan membantu masyarakat untuk mendapatkan keamanan dan kenyamanan dalam menggunakan teknologi informasi.

5. Aturan-aturan di bidang E-Bussiness termasuk didalamnya perlindungan konsumen dan pelaku bisnis.

6. Aturan-aturan di bidang E-Government. Apabila E-Government di Indonesia telah terintegrasi dengan baik, maka efeknya adalah pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih baik.

7. Aturan tentang jaminan keamanan dan kerahasiaan Informasi dalam menggunakan teknologi informasi.

8. Yurisdiksi hukum, cyberlaw tidak akan berhasil jika aspek ini diabaikan. Karena pemetaan yang mengatur cybespace menyangkut juga hubungan antar kawasan, antar wilayah, dan antar negara. Sehingga penetapan yurisdiksi yang jelas mutlak diperlukan.

Upaya yang sedang dilakukan pemerintah saat ini dalam rangka menyusun payung hukum ruang cyber melalui usulan Rancangan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE) memang patut dihargai. Rancangan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik memuat beberapa hal yakni;masalah yurisdiksi, perlindungan hak pribadi, azas perdagangan secara e-comerce, azas persaingan usaha usaha tidak sehat dan perlindungan konsumen, azas-azas hak atas kekayaan intelektual (HaKI) dan hukum Internasional serta azas Cyber Crime . Kendati Rancangan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik telah diusulkan dan di bahas oleh Pemerintah (melalui Depkominfo) dan DPR, namun hasil riil berupa disahkannya RUU tersebut menjadi Undang-undang belum tercapai. Menurut pemerintah, masih ada beberapa Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang perlu dilakukan pembahasan lagi. Padahal Rancangan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik menurut pengamatan penulis telah di susun sejak tahun 2001 yang lalu. Waktu yang terbilang cukup lama, jika dibanding dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi.

RUU ITE yang saat ini sedang dibahas merupakan hasil kombinasi antara Rancangan Undang-undang Teknologi Informasi (RUU PTI) dirancang oleh pusat studi hukum teknologi informasi Fakultas Hukum Universitas Padjajaran dan Rancangan Undang-Undang Tandatangan Digital dan Transaksi Elektronik oleh Lembaga Kajian Hukum Dan Teknologi UI.

Di tingkat Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui komisi khususnya, The United Nations Commissions on International Trade Law (UNCITRAL), telah mengeluarkan 2 guidelines yang terkait dengan transaksi elektronik, yaitu UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce with Guide to Enactment 1996 dan UNCITRAL Model Law on Electronic Signature with Guide to Enactment 2001. Sedangkan di Uni Eropa, dalam upaya mengantisipasi masalah-masalah pidana di cyberspace, Uni Eropa mengadakan Convention on Cybercrime yang didalamnya membahas jenis-jenis kejahatan apa saja yang dikategorikan sebagai cyber crime. Di bdiang perdagangan elektronik, Uni Eropa mengeluarkan The General EU Electronic Commerce Directive, Electronic Signature Directive, dan Brussels Convention on Online Transactions. Aturan-aturan serupa juga dikeluarkan lembaga-lembaga internasional seperti WTO, ASEAN, APEC dan OECD .

Untuk negara-negara berkembang, Indonesia bisa bercermin dengan negara-negara seperti India, Banglades, Srilanka Malaysia, dan Singapura yang telah memiliki perangkat hukum di bidang cyberlaw atau terhadap Armenia yang pada akhir tahun 2006 lalu telah meratifikasi Convention on Cybercrime and the Additional Protocol to the Convention on Cybercrime concerning the criminalisation of acts of a racist and xenophobic nature committed through computer system.

Survei yang dilakukan oleh Stein Schjolberg mantan hakim di Oslo terhadap 78 negara di dunia menempatkan Indonesia sama seperti Thailand, Kuwait, Uganda, dan Afrika Selatan yang belum memiliki perangkat hukum pendukung di bidang cyberlaw.

Indonesia masih tertinggal jauh jika dibandingkan dengan Negara-negara Asia lainnya apalagi jika dibandingkan dengan negara-negara Uni Eropa yang telah memiliki perangkat hukum lengkap di bidang cyberlaw.

Ketiadaan perangkat hukum di bidang cyberlaw di Indonesia mengakibatkan terjadinya kesenjangan hukum di masyarakat. Namun demikian Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa apabila timbul kesenjangan antara hukum dengan perubahan dalam masyarakat, maka kesenjangan itu termasuk hal yang normal. Karena hukum sebetulnya sudah diperlengkapi dengan peralatan teknik untuk bisa mengatasi kesenjangan tersebut. Dalam keadaan demikian hukum tidak selalu harus di ubah secara tegas. Namun dapat dilakukan adaptasi hukum terhadap perubahan masyarakat .

Untuk membangun pijakan hukum yang kuat dalam mengatur masalah-masalah hukum di ruang cyber (internet) diperlukan komitmen kuat pemerintah dan DPR. Namun yang lebih penting lagi selain komitmen adalah bahwa aturan yang dibuat nantinya merupakan produk hukum yang adaptable terhadap berbagai perubahan khususnya di bidang teknologi informasi. Kunci dari keberhasilan pengaturan cyberlaw adalah riset yang komprehensif yang mampu melihat masalah cyberspace dari aspek konvergensi hukum dan teknologi. Kongkretnya pemerintah dapat membuat laboratorium dan pusat studi cyberlaw di perguruan-perguruan tinggi dan instansi-instansi pemerintah yang dianggap capable di bidang tersebut. Laboratorium dan pusat studi cyberlaw kemudian bekerjasama dengan Badan Litbang Instansi atau Perguruan Tinggi membuat riset komprehensif tentang cyberlaw dan teknologi informasi. Riset ini tentu saja harus mengkombinasikan para ahli hukum dan ahli teknologi informasi. Hasil dari riset inilah yang kemudian dijadikan masukan dalam menyusun produk-produk cyberlaw yang berkualitas selain tentunya masukan dari pihak-pihak lain seperti swasta, masyarakat, dan komunitas cyber.

Selain hal tersebut hal paling penting lainnya adalah peningkatan kemampuan SDM aparatur hukum di bidang Teknologi Informasi mulai dari polisi, jaksa, hakim bahkan advokat khususnya yang menangani masalah-masalah ini. Penegakan hukum di bidang cyberlaw mustahil bisa terlaksana dengan baik tanpa didukung SDM aparatur yang berkualitas dan ahli di bidangnya.(tgh)


DAFTAR BACAAN

—————, 2007, Menuju Kepastian Hukum di bidang: Informasi and Transaksi Elektronik, Departemen Komunikasi dan Informatika RI

Barda Nawawi Arief, 2005, Tindak Pidana Mayantara, Jakarta, Raja Grafindo Persada

Edmon Makarim, Pelanggaran HKI di Bidang Telematika, Makalah pada Workshop Penegakan Hukum di Bidang TIK yang diselenggarakan oleh Depkominfo dan BPHN di Hotel Accacia Jakarta 31 Oktober 2007

I.S Susanto, 1995, Kriminologi, Semarang, FH Undip

Jeane Neltje Saly, Cyber Law Dalam Perspektif Hukum Nasional, makalah dalam Workshop Penegakan Hukum di Bidang TIK yang diselenggarakan oleh Depkominfo dan BPHN di Hotel Accacia Jakarta 31 Oktober 2007

Keyur Patel dan Mary Pat McCarthy, 2000, Digital Transformation, The Esentials of Business Leadership, New York, McGraw-Hill

Sugandhi, R, 1981, KUHP dan Penjelasannya, , Surabaya, Usaha Nasional

Rancangan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, 2007, Departemen Komunikasi dan Informatika RI

Satjipto Rahardjo, 1996, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti

Soerjono Soekanto, 1998, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada

Thomas Friedman, 2005, The World Is Flat: A Brief History of the Twenty-first Century, New York , Farrar and Giroux

www.cybercrimelaw.net

www.ristek.go.id, 2001, Perlunya Studi Perbandingan dalam Pengembangan Teknologi Informasi di Indonesia

Sumber :
Penulis :
Teguh Arifiyadi, SH. Inspektorat Jenderal Depkominfo
teguh_arifiyadi@yahoo.com
http://blogs.depkominfo.go.id/itjen/2008/12/19/cyberlaw-tantangan-bagi-perkembangan-hukum-di-indonesia/
19 Desember 2008

Hukum Islam

A. RUANG LINGKUP HUKUM ISLAM

Hukum Barat membedakan secara tajam antara hukum publik dan privat, sedangkan hukum Islam tidak membedakan secara tajam antara keduanya. Karena pada hukum publik Islam terdapat segi privat demikian pula sebaliknya.

Ruang lingkup hukum Islam meliputi :

1. Ibadat; Mengatur segala sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh manusia terhadapTuhannya.
2. Munakahat; mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian serta akibat-akibatnya.
3. Waratsah atau faraidh; mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan serta pembagian warisan.
4. Mu’amalat; mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam soal jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, perserikatan dll.
5. Jinayat; mengatur hal-hal yang berhubungan dengan perbuatan yang diancam dengan hukuman baik dalam jarimah hudud (perbuatan tindak pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas hukumannya dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi saw.) maupun dalam jarimah ta’zir (perbuatan pidana yang bentuk dan ancaman hukumannya ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya.
6. Al-ahkam al-Shulthaniyah; membicarakan soal-soal yang berhubungan dengan kepala negara, pemerintahan, baik pemerintah pusat maupun daerah, tentara, pajak, dll.
7. Siyar; mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk agama dan negara lain.
8. Mukhasamat; mengatur soal peradilan, kehakiman dan hukum acara.


B. CIRI-CIRI HUKUM ISLAM.

1. Merupakan bagian dan bersumber dari ajaran Islam
2. Mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan dari iman/aqidah dan kesusilaan/akhlak.
3. Mempunyai dua istilah kunci; Syariat dan Fiqih; Syari’at terdiri dari wahyu Allah swt. dan sunnah nabi Muhammad saw., sedangkan fikih adalah pemahaman dan hasil pemahaman manusia terhadap syari’ah.
4. Terdiri dari dua bidang utama; Ibadah dan mu’amalah (dalam arti luas).
5. Strukturnya berlapis; al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’, Ijtihad (qiyas)
6. Mendahulukan kewajiban dari hak; amal dari pahala.
7. Dibagi kepada hukum taklifi (Jaiz, sunnat, makruh, wajib dan mubah) dan wadh’i (sebab, syarat dan halangan terjadinya hubungan hukum).
8. Universal, berlaku abadi untuk ummmat Islam dimanapun berada.
9. Menghormati martabat manusia manusia sebagai kesatuan jiwa dan raga.
10. Pelaksanaannya dalam praktek digerakkan oleh iman dan akhlak.


C. TUJUAN HUKUM ISLAM.

1. Dilihat dari Pembuat Hukum Islam (Allah swt)
a. Untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang bersifat dlaruriyah (primer), Hajjiyah (sekunder) dan tahsiniyah (tertier).
Dlaruriyah adalah kebutuhan utama yang harus dipelihara dan dilindungi sebaik-baiknya oleh hukum Islam agar kemaslahatan hidup manusia benar-benar terwujud.
Hajjiyah adalah kebutuhan yang diperlukan untuk mencapai sesuatu yang bersifat dlaruriyah, seperti kemerdekaan, persamaan, dll yang bersifat menunjang eksistensi dlaruriyah.
Tahsiniyah adalah kebutuhan hidup manusia yang perlu diadakan dan dipelihara untuk kebaikan hidup manusia dalam masyarakat, seperi sandang, pangan, perumahan dll.
b. Untuk ditaati dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari.

2. Dilihat dari Pelaku hukum Islam (manusia)
a. Untuk mencapai kehidupan yang sejahtera dan bahagia dengan mengambil yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang madharat serta menghilangkan kesulitan hidup.
b. Untuk mencapai keridlaan Allah di dunia dan akherat.


D. SUMBER HUKUM ISLAM.

1. Al-Qur’an
a. Ayat muhkamah dan mutasyabihah
b. Qath’iy wurud dan dalalah; qath’iy wurud dzanniy dalalah.

2. Sunnah.
a. Pemahaman tekstual dan kontekstual.
b. Shahih, hasan dan dlaif.
c. Kutubus sittah.

3. Ijma’
a. Ijma shahabat dan ummat
b. Qath’iy dan dhanniy

4. Ijtihad.
a. Qiyas; Menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya dalam al-Qur’an dan hadits dengan hal lain yang hukumnnya disebut dalam al-Qur’an/hadits karena persamaan ‘illat (alasan ditetapkannya hukum)
b. Maslahat mursalah; Menemukan sesuatu hukum yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah dengan mempertimbangkan kemaslahatan masyarakat atau kepentingan umum.
c. Istihsan; Menemukan hukum dengan jalan menyimpang dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan kepentingan sosial.
d. Istishab; Menetapkan hukum menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya.
e. Urf/adat istiadat; yang tidak bertentangan dengan hukum islam.


E. AZAS HUKUM ISLAM.

1. Azas Umum.
a. Azas keadilan
b. Azas kepastian hukum
c. Azas kemanfaatan

2. Azas khusus
a. Dalam hukum Pidana; Azas legalitas, azas larangan memindahkan kesalahan pada orang lain, dan azas praduga tidak bersalah.
b. Dalam hukum Perdata; Azas kebolehan, kemaslahatan hidup, kebebasan dan kesukarelaan, menolak madharat dan mengambil manfaat, kebaikan, kekeluargaan dan kebersamaan yang sederajat, adil dan berimbang, mendahulukan kewajiban dari hak, larangan merugikan diri sendiri dan orang lain, kemampuan untuk bertindak dan berbuat, kekebasan berusaha, mendapatkan hak karena usaha dan jasa, perlindungan hak, hak milik berfungsi sosial, yang beritikad baik harus dilindungi, risiko dibebankan pada harta, tidak pada pekerja, mengatur dan memberi petunjuk, tertulis atau diucapkan di depan saksi.
c. Dalam hukum Perkawinan; Azas kesukarelaan, persetujuan kedua belah fihak, kebebasan memilih pasangan, kemitraan suami-isteri, untuk selama-lamanya, monogami terbuka.
d. Dalam Hukum Waris; Azas ijbari (memaksa), bilateral, individual, keadilan yang berimbang, azas yang menyatakan bahwa kewarisan ada kalau ada yang meninggal.

Sumber :
H.A. Saefurridjal, Drs
http://www.fkip-uninus.org/index.php/artikel-fkip-uninus-bandung/arsip-artikel/69-hukum-islam
24 Desember 2008

Eksistensi Hukum Islam dalam Hukum Indonesia

Negara Indonesia memang bukan Negara Islam, sehingga tidak diberlakukan Syari’at Islam atau disebut Khilafah yakni negara yang hukumnya sepenuhnya menjalankan hukum Islam. Walaupun demikian, mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, maka hukum Islam akan selalu mempengaruhi setiap penyusunan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sebab dalam menetapkan suatu peraturan perundang-undangan, satu hal yang harus diperhatikan adalah kondisi sosiologis masyarakat setempat. Sebab suatu peraturan Negara tidak boleh bertentangan dengan keyakinan suatu agama, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 29 ayat 1: “Negara berdasar atas keTuhanan Yang Maha Esa.” Dan Pasal 2: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.” Ini berarti dalam setiap penyusunan hukum negara, harus menghormati hukum suatu agama, terutama Islam sebagai kaum mayoritas. Bahkan pada awal perjuangan kemerdekaan, tokoh-tokoh Islam menginginkan agar di negara Indonesia merdeka nanti harus berdasarkan syari’at Islam tetapi tetap menghormati pemeluk agama lainnya, seperti disepakati dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, negara itu harus berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya, akan tetapi kalimat ini dihapus pada tanggal 18 Agustus 1945 dan kewajiban menjalankan syariat Islam diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana dapat kita baca dalam Pembukaan UUD 1945 sekarang ini. Namun tetap saja hukum Islam akan selalu mempengaruhi hukum Indonesia, namun hukum tersebut merupakan hukum yang telah diadopsi menjadi hukum adat.

Sebagai contoh dalam UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Pasal 2 ayat 1 disebutkan: “Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut agama dan kepercayaannya itu.” Dengan kata lain, jika orang tersebut beragama Islam, maka perkawinan harus sesuai dengan Syari’at Islam. Sehingga khusus bagi umat Islam, harus melakukan pernikahan dengan pencatatan oleh KUA (Kantor Urusan Agama). Sedangkan pernikahan agama lain, dicatat pada Kantor Catatan Sipil. Begitu juga apabila orang muslim menikah dengan non-muslim, maka hanya bisa dicatat pada Kantor Catatan Sipil, sebab sebagian besar ulama tidak mengakui adanya pernikahan beda agama. Disini terlihat jelas eksistensi hukum Islam.

Adapun contoh lainnya adalah dalam peraturan ketenagakerjaan, harus memberikan waktu kepada karyawan yang muslim untuk menjalankan sholat lima waktu, hal ini terlihat jelas pada hari Jum’at, maka seluruh karyawan akan diberikan waktu istirahat yang lebih lama dari biasanya sebab Islam mengharuskan umatnya sholat Jum’at secara berjama’ah di Masjid. Bahkan sekolah-sekolah pada umumnya akan lebih awal menghentikan proses belajar mengajar pada hari Jum’at. Disini juga terlihat jelas eksistensi hukum Islam dalam hukum Indonesia.

Namun ke-eksistensi-an hukum Islam tersebut tidak terlihat pada hukum pidana. Pada tindak pidana zina misalnya, hukum Islam memandang zina adalah kejahatan yang berat, bahkan diancam dengan hukuman mati jika pelakunya adalah orang yang terikat perkawinan. Tentu saja hukuman mati tersebut akan dilaksanakan jika semua bukti dan saksi telah dengan pasti menyatakan bahwa perzinahan telah dilakukan tanpa ada keraguan. Namun dalam hukum Indonesia, yakni KUHP yang mengatur tentang hukum pidana, perzinahan bukanlah suatu kejahatan jika dilakukan atas dasar suka sama suka. Negara baru akan bertindak jika ada unsur perkosaan, atau laporan dari suami atau isteri yang telah berzina dengan orang lain. Sebab dalam KUHP tidak ada larangan terhadap zina yang dilakukan atas kerelaan pelaku atau suka sama suka. Hal ini menurut penulis memang perlu dibenahi sebab KUHP kita merupakan warisan KUHP Belanda, yang tidak sesuai dengan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia. Mengenai zina ini, saya rasa bukan hanya agama Islam saja yang akan mengkategorikan bahwa zina adalah kejahatan yang harus mendapatkan hukuman, agama lainnya pun yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa pasti mengkategorikan bahwa zina adalah kejahatan yang berbahaya.

Sumber :
Hidayat Lubis
http://hukum-islam.co.cc/?p=87#more-87